PesonaKalimantan – Setelah lengsernya Bashar Al Assad dari kepemimpinan Suriah, situasi di negara tersebut tetap kompleks, dengan banyak pihak berkepentingan yang berupaya memengaruhi arah masa depan wilayah itu. Presiden terpilih Donald Trump, yang selama masa jabatan pertamanya dikenal dengan sikap nonintervensinya, kembali menyatakan bahwa konflik di Suriah bukan perang yang perlu melibatkan Amerika Serikat.
Situasi Pasca Assad: Perebutan Pengaruh di Suriah
Lengsernya Assad memicu perubahan besar di Suriah. Dari selatan, Israel terus melancarkan serangan untuk melemahkan pengaruh Iran. Di utara, kelompok pemberontak yang didukung Turki menguasai sebagian wilayah, menyebabkan warga Kurdi melarikan diri. Sementara itu, AS di bawah Presiden Joe Biden sebelumnya telah melancarkan serangan udara terhadap kelompok ISIS sebagai bagian dari upayanya mengelola risiko di kawasan tersebut.
Pendekatan Trump: Fokus pada Kepentingan Domestik dan Sekutu Utama
Trump, yang dikenal dengan prinsip “America First”, tetap menegaskan bahwa Amerika tidak akan terlibat secara mendalam dalam konflik Suriah. Dalam cuitannya, ia mengatakan, “Ini bukan perang kita.” Tulsi Gabbard, yang ditunjuk sebagai kepala badan intelijen dalam kabinet Trump, mendukung pendekatan ini. Ia menekankan bahwa Trump berkomitmen untuk mengakhiri perang dan mengutamakan keselamatan rakyat Amerika.
Baca Juga:
Namun, tantangan tetap ada. Dengan lengsernya Assad, AS perlu memastikan bahwa sekutu seperti Israel dan Yordania tetap terlindungi, serta mencegah kebangkitan kelompok-kelompok teroris seperti ISIS. Trump sebelumnya pernah memerintahkan serangan terhadap rezim Assad sebagai respons terhadap penggunaan senjata kimia, tetapi kebijakan utamanya adalah menarik pasukan dari Suriah, sebuah langkah yang menuai kritik luas.
Dinamika Kawasan dan Masa Depan Kebijakan AS
Kawasan ini masih menjadi pusat perhatian global, dengan berbagai aktor yang memiliki agenda berbeda. Meski Trump menyatakan keinginannya untuk tidak terlibat, kebutuhan untuk melindungi sekutu dan mencegah potensi ancaman terorisme akan terus menjadi faktor dalam kebijakan luar negeri AS.
Dengan sikap Trump yang ingin membatasi intervensi, apakah AS mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan domestik dan tuntutan global di kawasan ini? Hanya waktu yang akan menjawabnya.